25 September 2008

karangan bunga, penting?

Saya fikir bisa dimengerti ketika dalam situasi pertama teman saya menikah dan mendapatkan karangan bunga, alasannya adalah; pertama, karangan bunga itu benar-benar kiriman orang dan tidak ada peringatan "Mohon ma'af kami tidak menerima karangan bunga" yang tertulis pada undangan pesta pernikahan teman saya itu ;kedua, saya tidak bisa menjamin agama yang mengirimkan karangan bunga tersebut; ketiga: karangan bunga bersifat sambil promosi mengingat yang mengirimkan adalah semacam penyedia jasa seperti:salon, atau tempat yang biasa (tidak sering juga sih) dikunjungi teman saya itu.

Nah yang tak bisa saya mengerti adalah situasi kedua ketika saya mengetahui ada orang yang merekayasa karangan bunga, ya..merekayasa! artinya karangan bunga tersebut tidak benar-benar dikirimkan oleh nama-nama yang tertera di papan bunga tersebut! Tetapi keluarga yang akan menyelenggarakan pesta untuk anaknya membuat sendiri karangan bunga itu, untuk apa? sumpah mati itu pertanyaan yang tak akan bisa saya jawab.
 
Miris sekali hati saya, uang yang seharusnya bisa dipakai untuk keperluan lain, malah dibuang-buang untuk urusan papan bunga mati!
Hampir saja kantor NGO tempat saya bekerja akan dijadikan pengirim rekayasa mereka, can you imagine? Apakah ada NGO yang bekerja untuk humanitarian response menyediakan budget untuk papan bunga mati sementara banyak orang yang lebih pantas dan membutuhkan uang itu? beeuh!
Bukan karena isu global warming, penghematan, lingkungan, atau tetek bengek lainnya tapi untuk karangan bunga ini benar-benar membuat saya tak mengerti, apakah pesta perkawinan tak berjalan lancar tanpa papan bunga mati itu? Bodoh!
---------------------------------------------
Tuesday, 23 September 2008 06:41 WIB
Fikih anti-karangan bunga
WASPADA ONLINE
Oleh Azhari Akmal Tarigan
"Mohon ma'af kami tidak menerima karangan bunga." Kalimat ini sempat terbaca penulis ketika melihat undangan MUI dalam rangka silaturahim Gubernur Sumut dengan ulama dan ormas Islam beberapa waktu yang lalu. MUI Sumut, kendati belum mengeluarkan fatwa tentang karangan bunga, namun secara perlahan mencoba untuk mengimbau masyarakat pada umumnya dan umat Islam pada umumnya untuk menghentikan tradisi mengirim karangan bunga.
Dalam sebuah kesempatan, ketika bertemu dengan sekretaris umum MUI Prof. Dr. Hasan Bakti Nasution, MA, penulis sempat bertanya, apa alasan MUI tidak mau menerima karangan bunga. Jawabannya sederhana saja, mubazir. MUI benar, mengirim karangan bunga merupakan perbuatan mubazir (sia-sia dan pemborosan) yang sesungguhnya tidak memberi manfaat kepada orang yang menerimanya kecuali sekadar "kebanggaan semu."
Mubazir di dalam bahasa Arab terambil dari kata b-z-r .yang berarti pemborosan atau pemanfaatan yang tidak pada tempatnya. Di dalam beberapa kamus bahasa Indonesia, mubazir dimaknakan dengan pemborosan. Jika kita merujuk Al Qur'an, kata mubazir ditemukan lebih kurang tiga kali yang termuat dalam surah al-Isra ayat 26 dan 27. Adapun terjemahannya adalah:
"Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya."
Menurut M. Quraish Shihab sebagaimana yang terdapat di dalam Al-Mishbah, kata tabzira pada ayat 26 bermakna pengeluaran yang bukan hak. Jika seseorang menafkahkan/membelanjakan semua hartanya dalam kebaikan atau haq, maka dia bukanlah seorang pemboros. Dengan demikian, boros (tabzir) bukanlah berkaitan dengan kuantitas, melainkan kegunaan (kemanfaatan). Sampai-sampai menurut M. Quraish Shihab, orang yang berwudhu' ketika membasuh wajahnya lebih dari tiga kali, dikategorikan juga sebagai perilaku tabzir. Dan orang mubazir adalah saudara syaitan.
Mengapa Al Qur'an menyebut orang yang mubazir saudara syaitan. Dari sisi bahasa, makna ikhwan adalah persamaan dan keserasian. Dua orang yang berbeda keturunan, dapat menjadi saudara yang tidak terpisahkan jika mereka memiliki persamaan-persamaan yang menyebabkan mereka dapat membangun keserasian. Sampai di sini, orang yang mubazir memiliki perilaku yang sama dengan syaithan, memperlakukan (membelanjakan) sesuatu tidak secara hak.
Dalam konteks perilaku tabzir inilah, perihal pemberian karangan bunga penting untuk didiskusikan. Pertanyaan selanjutnya, apakah memberikan karangan bunga baik sebagai ungkapan (ucapan) selamat dan duka cita, dapat kita sebut sebagai pengeluaran tanpa hak. Dapatkah hal itu disebut pemborosan. Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita dapat mengajukan pertanyaan baru, apa manfaat dari sebuah karangan bunga? Dalam khazanah Islam, manfaat memiliki kedekatan makna dengan maslahat (kebaikan). Di dalam filsafat Barat, manfaat juga disebut dengan utility (nilai guna). karangan bunga tidak memberikan apapun, kecuali kesan. Dan kesan itu adalah semu. Kita sebut contoh, ketika ada peristiwa kemalangan (tokoh atau sosok yang dikenal luas dan memiliki jaringan yang luas), di sekitar rumah duka, di jalan-jalan, kita melihat karangan bunga berjejer yang terkadang diletakkan secara sembarang. Kesan yang muncul, orang yang meninggal tersebut adalah orang hebat, relasinya luas dan jaringannya menyebar di sana-sini. Setelah beberapa hari, karangan bunga dikembalikan kepada "rumah produksinya" maka keadaan kembali seperti semula. Ia hanya meninggalkan cerita. Tidak lebih sebuah cerita.
Bahkan sesungguhnya yang tersembunyi di balik pemberian karangan bung a adalah pemanfaatan kesedihan atau duka orang yang ditimpa musibah. Umumnya si pemberi karangan tidak akan mau untuk tidak mencantumkan namanya. Saya tidak pernah melihat karangan bunga yang pengirimnya "hamba Allah". Oleh sebab itu, bagi penulis, pemberian karangan bunga bukan sekadar perbuatan mubazir. Tetapi lebih dari itu, di dalamnya ada upaya untuk mengeksploitasi kesedihan atau kegembiraan orang lain untuk kepentingan pribadi. Tegasnya, lewat karangan bunga, si pengirim sedang memasarkan (kata yang halus untuk mengganti kata menjual) dirinya. Di dalamnya ada pesan, kalau orang tersebut perduli dan memiliki perhatian dengan orang yang ditimpa musibah. Siapa saja yang lewat di depan karangan bunga, dipastikan akan membaca nama sang pengirim. Ironisnya, terkadang ucapan selamatnya jauh lebih kecil dibanding dengan nama sang pengirim.
Di samping itu, dalam tingkat tertentu, karangan bunga kerap menimbulkan peroblem bagi pengguna jalan karangan bunga menimbulkan kemacatan dan menyulitkan pejalan kaki. Artinya, karangan bunga menimbulkan kemudharatan (mafsadat) bagi pengguna jalan. Jika demikian, alih-alih membawa manfaat, malah kemudharatanlah yang timbul. Saya khawatir saja, jangan-jangan karangan bunga menyembulkan keangkuhan bagi yang menerima dan memberi. Apa yang dilakukan MUI sebenarnya sebuah terobosan yang layak untuk diapresiasi. Namun lebih dari itu, yang lebih penting adalah bagaimana MUI dapat memberi contoh lewat pengurus-pengurusnya. Adalah sangat ironis ketika MUI sebagai sebuah lembaga keagamaan yang terhormat menolak karangan, namun pengurusnya masih menerima karangan bunga, ketika menyelenggarakan pesta atau ketika ditimpa musibah.
Mungkin upaya awal yang dapat kita lakukan adalah membuat pemberitahuan di undangan,
bahwa ahli bait tidak menerima karangan bunga. Atau berani menolak dan mengembalikan karangan bunga karena kita sedang berduka. Kita hanya butuh doa dan nasihat bukan karangan bunga. Akhirnya, saya ingin mengatakan, karangan bunga bukanlah ajaran yang bersumber dari teks suci Islam. Jabat tangan, senyum yang tulus, ucapan salam, dan doa jauh lebih berharga, ketimbang papan bisu. Di samping itu, karangan bunga tidak akan pernah dapat menggantikan kehadiran kita.
Oleh sebab itulah, di dalam Islam, hak muslim atas muslim lainnya sudah tertuang dalam hadis Nabi, di antaranya;menjenguk orang sakit, memenuhi undangan, mengiringi janazah ke liang kubur dan sebagainya.
Semoga kita segera kembali ke tradisi Islam yang penuh hikmah. Wallahu A'lam.
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Hukum Islam IAIN.SU dan Koordinator Tim Penulis Tafsir Ulama Tiga Serangkai Sumut.*